Sebagaimana kita ketahui bersama Islam masuk ke
Indonesia melalui pendekatan kultural. Para pakar berbeda pendapat tentang
tahun masuknya Islam ke Indonesia. Pendapat pertama mengatakan abad ke-7 sampai
8 M. pendapat kedua mengatakan abad ke-13, pendapat ini dipelopori
sarjana-sarjana Belanda sedangkan pendapat ketiga mengkompromikan diantara dua
pendapat di atas yang dipeloporo Taufiq Ismail dan Konto Wijoyo.
Masuknya Islam ke Indonesia tidak dalam waktu yang
bersamaan sesuai dengan kondisi sosial politik ketika Islam tersebut datang.
Sebagai contoh Islam datang ke Palembang ketika Sriwijaya mengalami
kemajuan yang sangat pesat dengan demikian para pedaganga muslim menjadi
duta-duta Sriwijaya dalam berdiplomasi dengan kerajaan Cina, begitu sebaliknya
ketika Islam datang ke Jawa, kerajaan Singasari dan Majapahit mengalami
kemunduran dan Islam memberikan solosi yang tepat terhadap problematika yang
dihadapi oleh masyarakat setempat. Dari teori konflik inilah, para muballigh
muslim mampu memenej problematikan sosial menjadi gerakan dakwah
Islamiyah dengan pendekatan budaya, perkawinan, kesenian, tradisi, dan sosial
politik.
Dari kasus politik, penulis mengambil contoh kogkrit
Islam masuk ke Kalimantan Selatan melalui pendekatan cultural dan struktural.
Secara cultural, Islam masuk Kekalimantan Selatan dibawa oleh Sunan Giri.
Sedangkan secara structural melaui bargaining politik antara Pangeran Samudra
dengan Sultan Trenggono dari Demak.
Awal Masuknya Islam di Kalimantan Barat
Daerah pertama di Kalimantan Barat yang diperkirakan
terdahulu mendapat sentuhan agama Islam adalah Pontianak, Matan dan Mempawah.
Islam masuk ke daerah-derah ini diperkirakan antara tahun 1741, 1743 dan
1750. Menurut salah satu versi pembawa islam pertama bernama Syarief Husein,
seorang Arab.[2] versi yang lebih lengkap
menyatakan, nama beliau adalah Syarif Abdurrahman al-Kadri, putra dari Svarif
Husein. Diceritakan bahwa Syarief Abdurrahman Al-Kadri adalah putra asli
Kalimantan Barat. Ayahnya Sayyid Habib Husein al-Kadri, seorang keturunan Arab
yang telah menjadi warga Matan. Ibunya bernama Nyai Tua, seorang putri Dayak
yang telah menganut agama Islam, putri Kerajaan Matan. Syarif Abdurrahman
al-Kadri lahir di Matan tanggal 15 Rabiul Awal 1151 H (1739 M). Jadi ia
merupakan keturunan Arab dan Dayak dan Ayahnya Syarief Husein (Ada yang
menyebutnya Habib Husein) menjadi Ulama terkenal di Kerajaan Matan hampir
selama 20 tahun.[3]
Melihat keterangan di alas tampak bahwa islam masuk di
Kalimantan Barat dibaw-a oleh juru dakwah dari Negeri Arab. Ini
sejalan dengan teori beberapa sejarawan Belanda diantaranya Crawford (1820),
Keyzar (1859), Neiman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Menurut
mereka penyiar Islam di Indonesia (Nusantara) berasal dari arab, tepatnya dari
Hadramat, Yaman. Teori ini didukung pula oleh sejarawan dan ulama Indonesia
modern, seperti Hamka, Ali Hasyim, Muhammad Said dan Syed Muhammad Naquib a(
atlas (Malaysia).[4]
Memang ada teori lain yang menyatakan Islam di
Nusantara berasal dari anak Benua India, yaitu dari Gujarat dan Malabar yang
bermazhab Syafi’i. Teori ini dekemukakan oleh Pijnapel, seorang ahli sejarah
melayu dari Universitas Leiden, Belanda, yang mengemukakan teorinya tahun 1872,
yang menurut Azyumardi Azra diperkirakan diadopsi dari catatan perjalanan
Sulaiman, Marcopolo dan Ibnu Baturiah. Teori lainnya, menyatakan Islam di
Nusantara disebarkan oleh pedagang dan juru dakwah dari Benggala (Bangladesh)
sekarang, yang titian dakwahnya melalui Cina (Kanton), Pharang (Vietnam),
Lerang dan trengganu, Malasia. Teori ini dianut oleh Tome Pieres dan SQ Fatimi.
Teori-teori diatas mungkin saja ada benarnya,
mengingat banyaknya wilayah pantai Nusantara yang menjadi pusat perdagangan dan
sekaligus penyiaran Islam. Tetapi melihat nama syarif Husein Al-Kadri dan
putranya Syarif Abdurrahman al-Kadri yang pertama kali membawa dan menyiarkan
Islam di Kalimantan Barat, maka tidak diragukan lagi untuk wilayah Kalimantan
barat saat itu pembawanya adalah juru dakwah dari Arab.
Tidak dijelaskan secara pasti apakah Syarif Husein
seorang pedagang atau Ulama karena diatas disebutkan aktifitasnya sebagai Ulama
mencapai 20-an tahun. Tetapi diperkirakan, mulanya ia memang seorang pedagang,
sebagaimana tipologi orang Arab pada umumnya, tetapi dimasa tuanya lebih
memfokuskan sebagai Ulama atau juru dakwah. Sedangkan aktivitas dan bakat
sebagai pedagang diwariskan kepada putranya, Syarif Abdurrahman al-kadri.
Terbukti sewaktu mudanya Syarif Husein al-Kadri aktif
berdagang mengelilingi daerah-daerah di Sumatera seperti Tambilahan, Siantan,
Siak, Riau dan Palembang, juga dikawasana Kalimantan, seperti Banjar Kalimantan
Selatan dan Pasir di Kalimantan Timur. Bahkan ia juga berhubungan dagang dengan
para pedagang Indonesia lainnya dan pedagang mancanegara, seperti dari Arab,
India, Cina, Inggris, perancis dan belanda. Dari pengalaman dan kesuksesannya
berdagang, ia membangun armada dagang yang kuat yang dilengkapi persenjataan
serta kapal-kapal yang tangguh, yang dipimpin seorang sahabatnya bernama
Juragan Daud.
Jadi masuknya Islam di Kalimantan Barat berjalan
secara alami: Habib Husein al-Kadri sebagai juru dakwah pertama, dilanjutkan
oleh putranya Syarif Abdurrahman al-kadri bersama para kader dakwah lainnya.
Disebut alami disini karena selain tugas dakwah dijalankan, aktivitas ekonomis
juga digerakkan sehingga para juru dakwah perintis ini memiliki kekuatan
ekonomi yang kuat. Dengan kekuatan ekonomi ini pula dakwah menjadi semakin
berhasil, ditambah relasi yang luas dengan para pedagang lainnya Walaupun bagi
Kalimantan barat, datangnya Islam yang dibawa oleh Syarif Husein alKadri,
Kalimantan barta bukan merupakan daerah pertama yang didatanginva. Dan rentetan
kronologi sampai akhirnya beliau menetap dan memusatk~ul dakwah di Kalimantan
Barat.
Beliau sendiri lahir tahun 1118 H di Trim Hadramat
Arabia. Tahun 1142 H setelah menamatkan pendidikan agama yang memadai, atas
saran gurunya berangkat menuju negeri-negeri timur bersama tiga orang kawannya
untuk mendakwah islam. Tahun 1145 H mulanya mereka tiba di Aceh. Sambil
berdagang mereka mengajarkan Islam disana. Lalu perjalanan di lanjutkan ke
Betawi (Jakarta) sedanglan temannya Sayyid Abubakar Alaydrus menetap di Aceh,
Sayyid Umar Bachasan Assegaf berlayar ke Siak dan Sayyid Muhammad bin Ahmad
al-Quraisy ke Trenggano. Syarif Husein al-kadri tingggal di betawi selama 7
bulan, kemudian di Semarang selama 2 tahun bersama Syekh Salam Hanbali. Tahun
1149 beliau berlayar dari Semarang ke Matan (ketapang) Kalimantan Barat dan
diterima di Kerajaan Matan.
Seiring dengan usaha dakwahnya, penganut Islam semakin
bertambah dan Islam memasyarakat sampai ke daerah pedalaman. Maka antara Tahun
1704-1755 M ia diangkat sebagai Mufti (hakim Agama Islam) dikerajaan Matan.
Selepas togas sebagai Mufti, beliau sekeluarga diminta oleh raja Mempawah Opo
Daeng Menambun untuk pindah ke Mempewah dan mengajar agama disana sampai
kemudian diangkat menjadi Tuan Besar Kerajaan Mempewah, sampai wafatnya tahun
1184 dalam usia 84 tahun.
Konsolidasi Politik
Islam di Kalimantan Barat tidak saja disebarkan
dikalangan masyarakat grassproots (akar rumput) atau rakyat jelata,
tetapi juga dikalangan bangsawan. Cara yang digunakan pada awalnya adalah
dengan, mengawini putri-putri bangsawan. Syarif Husein mulanya kawin dengan
Nyai tua seorang putri keluarga kerajaan Matan. Belakangan beliau juga kawin
dengan Nyai tengah dan Nyai Bungsu juga dari lingkungan kerajaan Matan. Dari
Nyai Tua lahir Syarif Abdurrlhnrm Al-Kadri yang belakangna menjadi pendiri
Kesultanan Pontianak, Dari Nyai Tengah ia memiliki tiga anak, yaitu Syarifah
Aisyah Syarif Abu Baikar dan Syarif Muhammad. Sedangkan dari Nyai_ Bungsu
memperoleh tiga anak pula, yaitu Syarif Ahmad, Svarifah Marjanaj, Syarifah Noor.
Ketiga istrinya itu bersaudara, namun dikawini secara ganti tikar setelah isiri
yang ada meninggal.
Melihat sepak terjang Syarif Husein diatas, tampak
beliau membangun kekuatan dakwah. selain politik dengan mendekati
keluarga Kerajaan yaitu mengawini putri-putri bangsawan Kerajaan dayak yang
sudah masuk Islam. Cara seperti ini memang banyak dilakukan para Ulama
terdahulu, seperti para Ulama Walisongo dijawa dan Ulama besar Kalimantan Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari. Dikalangan Ulama Walisongo tercatat diantaranya
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dari hasil perkawinannya dengan Dewi
Candrawati putri Brawijaya Kertabumi, cucu raja Majapahit. Syekh Muhammad
Arsyad al-Banjari pernah kawin dengan Bajut (istri pertama) seorang putri
Istana. Istri beliau yang lain, Ratu Aminah putri Pangeran Toha bin Sultan
Tahmidillah, raja Banjar Islam yang ke-16 tampak disini, pintu perkawinan
merupakan cara ampuh untuk mendekati lembaga kekuasaan. Terbukti kemudian
Syarif Husein diangkat sebagai Mufti di Kerajaan Matan. Dan hal sama juga Syekh
Muhammad Arsyad diangkat menjadi mufti dikerajaan Banjar. Pengangkatan tersebut
tentu saja tidak semata karena adanya pertalian darah melalui perkawinan,
tetapi didukung oleh keutamaan mereka juga.
Hal sama dilakukan oleh putra Syarif Husein, yaitu
Syarif Abdurrahman alKadri. Ketika ayahnya diminta oleh Raja Mempawah Opo
Daeng Menambun untuk pindah ke Mempawah dan diangkat untuk menjadi tuan Besar
Mempawah, Abdurrahman dikawinkan dengan Utin Candra Midi, putri Raja Opu Daeng
Menambun. Jadi ada keberlanjutan pertalian darah antara darah Ulama dengan
darah raja. Pertalian inilah yang membuat posisi Syarif Husein dan Syarif Abdurrahman
AlKadri beserta keturunannya semakin kuat.
Sebelum memperkuat karir politiknya, Syarif
Abdurrahman Al-Kadri menjadi pedagang antar pulau. Sebagai mana disebutkan
terdahulu ia memiliki armada dagang yang dilengkapi persenjataan di laut.
Pernyataan ini seolah bertentagan dengan pernyataan terdahulu bahwa para
pedagang Arab tidak tertair menggunakan senjata, dalam berdakwah. Sebenarnya
tidak ada yang bertentangan dalam hal ini. Senjata yang digunakan oleh Syarif
Abdurrahman al-Kadri adalah untuk mengawal armada dagangnya, sebab saat itu
sudah terjadi persaingan antar kapal dagang, terutama kapal dagang asing dan
juga untuk mengantisipasi serangan perompak laut (bajak laut). Kemungkinan
besar angkatan bersenjata yang mengawal armada dagangnya tidak semata miliknya
tetapi juga dibantu oleh Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah yang sudah Islam
ketika itu. Jadi Senjata bukan untuk dakwah, hanya mengawal dagang.
Mendirikan Kesultanan Pontianak
Setelah Syarif Abdurrahman Al-Kadri mengurangi
aktifitas dagangnya. ia kemudian lebih memfokuskan untuk mendirikan suatu
kerajaan atau kesultanan Islam. Mulanya tahun 1185 H (1771 M) ia meninggalkan
Mempawah menuju Pontianak. Setelah 4 hari berlayar disungai Kapuas,
rombongannya mendarat di Istana Kadriah yang sekarang dinamai Pontianak. Di
sini ia membangun perumahan dan balai serta masjid. Di tahun yang sama ia balik
ke Mempawah untuk membawa serta keluarga dan mengambil armada Tiang Sambung ke
Pontianak.
Tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau, ia
berlayar ke Tayan dan Sanggau untuk menaklukkannya dibawah kekuasaan Pontianak
Selanjutnya tahun 1778 dengan dihadiri oleh para sultan dan penambahan dari
Landang. simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, raja haji mengangkat dan
menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan
Pontianak. Setelah itu kesultanan Pontianak terus menguat dan menguasai
Mempawah, Sambas, dll, baik dengan jalan perang maupun damai. Setelah Sultan
Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan
keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak, yaitu:
- Sultan Syarif Kasim Al-Kadri (1808-1819)
- Sultan Syarif Usman AI-Kadri (1819-18SS)
- Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (1855-1872)
- Sultan Syarif Yusuf Al-Kadri (1872-1895)
- Sultan Syarif Muhammad Al-Kadri (185-1944)
- Sultan Syarif Thaha Al-Kadri (1944-1945)
- Sultan Syarif Hamid Al-Kadri (Sultan Hamid), (1945-1950)”
Adanya Kesultanan Pontianak yang dibangun oelh Sultan
Syarif Abdurrahman Al-Kadri, putra Syarif Husein al-Kadri ini menarik untuk
dikomentari. Sebelumnya disebutkan pedagang Arab atau Ulama asal Arab yang
datang ke Indonesia tidak teriarik untuk membangun kekuatan Politik (political
power) dengan cara mendirikan kerajaan sendiri yang dikuasai oleh keturunan
Arab. Mereka lebih senang menjadi Ulama yang bersekutu dengan pihak kerajaan.
Itu sebabnva tidak banyak diketahui orang Arab atau keturunan Arab yang menjadi
pengusaha di Nusantara. Dari sedikit itu tercatat misalnya Fatahillah (Syarif
Hidayatullah) yang berkuasa di Banten dan berhasil mengusir Poriugis dari Sunda
Kelapa (Jayakarta) menguasainya. sehingga ia dianggap sebagai pendiri kota
Jayakarta atau Jakarta sekarang, dan namanya diabadikan sebagai nama
Universitas Islam negeri (UIN/ sebelumnya IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mengapa Syarif Abdurrahman AI-Kadri tertarik terjun
kedua politik dan selanjutnya menjadi sultan Pontianak Pertama, ini tidak terpisahkan
dari darah yang mengalir pada dirinya. Walaupun ayahnya yarif Husin seorang
Ulama Besar yang pernah diangkat menjadi Mufti dan tuan besar dan Syarif
Abdurrahman pun diberikan pendidikan agama yang kuat oleh ayahnya, amun pada
diri Syarif al-Kadri juga mengalir darah bangsawan kerajaan, sebab ibunya (Nyai
Tua) adalah putri raja Matan, dan istrinya sendiri (Utin Chandra Midi) adalah
putri raja Mempawah. Patutu juga dicatat, salah satu istri Syarif Abdurrahman
AI-Kadri adalah ratu Syacharanom, putri dari kerajaan banjar, sehingga is
sempat digelari Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam.[
Dalam keadaan mengalir darah raja dan banyak bergaul
dengan lingkungan kerajaan, bahkan kawin dengan putri-putri raja dapat
dimaklumi jika Syarif Abdurrahman AI-Kadri punya naluri berkuasa yang besar
sehingga berhasil membangun kesultanan Pontianak yang sangat besarnya dalam
mengembangkan Islam di Kalimantan Barat.
Pilihan politik ini, walaupun sepintas menyimpang dari
tradisi orang Arab dan keturunannya di Indonesia yang lebih tertarik berdagang
dan berdakwah, namun pilihan itu tidak dapat dikatakan salah. Dengan memiliki
power politik sesudah power ekonomi melalui keberhasilan berdagang, agama Islam
akan semakin berkembang dan memiliki kekuatan politik di Kalimantan Barat.
Sebab dakwah Islam atau agama Islam akan kuat apabila ditopang oleh kekuasaan
dan ekonomi.
Lagi pula kekuasaan Syarif Abdurrahman Al-Kadri bukan
semata karena ambisi politiknya, tetapi juga didukung oleh para Sultan dari
kerajaan lain, jugs dukungan rakyat. Salah satu kekuatan politik Kesultanan
Pontianak adalah adanya toleransi beragama yang tinggi. Kepercayaan agama lain
diluar Islam seperti Animisme, Khonghucu, dll, tetap dihormati. sehingga tidak
terjadi konflik antaragama atau hal-hal negative lainnya. Bahkan di Kalimantan
Barat bukan hal aneh bila mesti berdampingan atau berdekatan letaknya dengan
klenteng, balai slot Dayak, dll. Adanya toleransi yang tinggi ini, membuat
masyarakat non muslim tidak berkeberatan dikuasai oleh Kesultanan Pontianak
yang Islam. Konflik politik Dengan Kolonial Belanda Sebagai pemerintah penjajah
belanda sangat berambisi Indonesia, tidak terkecuali daerah Kalimantan Barat
yang dikuasai Kesultanan Pontianak. Beberapa hal yang mendorong belanda ingin
mengembangkan sayap kekuasaan politiknya di Kalimantan barat adalah
- Belanda kuatir akan didahului oleh Sir Anthony Brooke yang berkuasa di Brunei dan Serawak dibawah kekuasaan Inggris, yang lebih dekat dengan Kalimantan Barat ketimbang kekuasaan Belanda yang berpusat di Batavia.
- Adanya sumber daya Islam di Kalimantan barat seperti emas. Mulanya didatangkan banyak pekerja kasar cina ke Sambas dan Mempawah untuk menjadi buruh pertimbangan emas. Tetapi kemudian diantara pekerja itu ada yang membandel dan melawan aturan Kerajaan, sehingga colonial Belanda merasa campur tangan.
- Banyaknya penyamun dan bajak laut di perairan Kalimantan Barat; Selat Karimata, taut Cina selatan dan sekitarnya yang mengganggu lalu lintas kapal-kapal dan Belanda dan pedagang lain. Karena itu belanda merasa perlu mengamankan diri sekaligus menguasai daerah setempat.
Dengan beberapa latar belakang di atas, belanda
melakukan pendekatan dengan kesultanan Pontianak. Mulanya, tahun 1779 M
Presiden belanda Willem Adrian Palm mewakili VOC. Ditahun itu diikat perjanjian
kedua pihak dan VOC diberi ijin membuka kantornya di Pontianak Tahun 1792-1808
Sultan Syarif Abdurrahman Al-kadri bersama-sama Belanda membangun Pontianak,
dan kewenagan Belanda dipusatkan disebelah barat Sungai Kapuas. Karena
kekuasaan Belanda semakin kuat maka Sultan Svarif berada dalam tekanan, dan
terpaksa menyerahkan kekuasaan politiknya kepada Belanda. Penyerahan itu
diperhalus bahasanya menjadi meminjam, tetapi dalam tafsiran Belanda, jusiru
Sultan yang harus rneminjam kepada Mereka dengan beberapa konsesi.
Isi Acte Van Investiture antara Nederlanche st
Indische Compagnie dengan Sultan Syarif Abdurrahman Al-Kadri pontinak tanggal 5
juli 1779. diantaranya:
- Komponi belanda meminjamkan ewilayah kekuasan kepada sultan pontianak
- Bila sultan wafat, para menteri mengusulkan kepada kompeni calon sultan yang patut di angkat atas persetujuan kompeni.
- Sultan hanya boleh mengangkat menteri dan pejabat tinggi atas seizin kompeni
- Sultan berkewajiban menyerahkan hasil-hasil hutan, emas, intan, lada, sarang burung, sisik ikan, bide dan sage kepada kompeni dengan harga yang di tentukan sendiri oleh kompeni. Mata uang Belanda (Golden) yang diberlakukan di Batavia juga harus diberlakukan di Kalimantan barat.
Banyak sekali dictum isi perjanjian tersebut, mencapai
18 macam, yang intinya mengebiri kedaulatan dan kekuasaan sultan-sultan
Pontianak. Sultan Syarif Abdurrahman A1-Kadri dan keturunanya terpaksa
menuruti. Sebagai imbalannya, Kesultanan Pontianak tidak dihapus tetap di
ijinkan berkuasa, tetapi dengan kewenangan yang sudah jauh dikurangi.
Jadi konflik politik dengan Belanda tidak secara
langsung diwarnai dengan perang fisik, namun sultan mendapat tekanan berat
sehingga merelakan kedaulatannya di preteli. Ini berbeda dengan kesultanan lain
yang melakukan perang fisik seperti Aceh dan Banjar, begitu kalah langsung
dihapus kerajaan tersebut dari daerah yang dikuasinva.
Itulah sebabnya, konflik politik dengan Belanda,
walaupun merugikan sultan dan rakyat, tetapi tidak terlalu tajam. Bahkan sultan
pontianak terakhir, yaitu sultan Syarif Hamid Al-Kadri yang lebih dikenal
dengan Sultan Hamid II pernah disekolahkan Belanda ke Koningkelijk Militair
Academic (KMA) di Belanda dan diangkat Belanda menjadi Perwira KNIL di
Balikpapan, Malang dan beberapa daerah lainnya di Jawa. Di era-era kemerdekaan,
nama Sultan Abdul Hamid II cukup terkenal karena ia dianggap memihak Belanda
(MICA) dalam kapasitasnya sebagai perwira KNIL. Bahkan Van Mook membebaskannya
dari penjara karena sempat ditahan saat jepang dan sekutu datang, dan
mengangkatnya kembali sebagai Sultan Pontianak. Semangat kemerdekaan yang
tumbuh dihati rakyat membuat Sultan Hamid serba salah antara memihak Belanda
dengan rakyat (pemerintah RI). la setuju mereka, tetapi menghendaki Negara
federal. Tetapi setelah konferensi meja bundar dan penyerahan kedaulatan kepada
RI tanggal 27 Desember 1949, Sultan Hamid II mengalami banyak kekecewaan.
Selain gagal dengan tujuannya berkuasa di Negara Federal Kalimantan Barat, ia
juga diangkat sebagai Menteri Pertahanan karena berpengalaman di akademi militer
dan tugas-tugas lapangan.
Karena berbagai kekecewan politik akhirnya ia menjauhi
dunia politik dan kembali ketengah keluarga sambil pensiun dan menjadi Presiden
Komisaris PT. Indonesia Air Transport, sampai wafatnya tanggal 30 Maret l 968
lengkap dan jelas sekali kak infonya
BalasHapusmoviebay